SEJARAH PERKEMBANGAN RIBA
Pertanyaan terhadap bunga dalam basis teoritis bukan barang baru. Plato menganggap bunga sebagai alat si kaya mengeksploitasi si miskin, dan Aristoteles meyakini bahwa uang sebagai alat tukar yang tidak bertambah dengan bunga. Dalam End of Economics (1991), Umar Vadillo mengatakan bahwa sebagian orang Romawi, Seneca dan Cicero berargumentasi dengan keras terhadap praktik riba, dan di kalangan orang Kristen awal; Nysennas, Augustinus,dan Acquinas juga menolak bunga.
Larangan praktik riba terdapat dalam Taurat dan Injil. Tetapi kemudian banyak orang Yahudi mengartikan larangan ini hanya antara sesama orang Yahudi, tidak untuk orang Yahudi dengan non-Yahudi.
”jika kamu meminjamkan uang kepada orang miskin dari golonganku, jangan seperti rentenir, kamu tidak boleh mengambil bunga darinya.”
(injil berbahasa Inggris edisi revisi, Eksodus 22:25)
”Kamu tidak boleh mengambil bunga dari setiap pinjaman uang kepada sesamamu, apakah dalam bentuk uang, makanan atau apa saja yang bisa diambil oleh bunga”.
(Injil berbahasa Inggris edisi revisi , eutoronomi 23:19-20)
Pada Dewan Nicea di tahun 325 M (meskipun kompromi dipaksakan oleh Raja Konstantin), perwakilan gereja menolak mengambangkan (abstain) dalam masalah riba. Riba diharamkan oleh para pendeta. Berabad-abad berikutnya terjadi pertentangan yang semakin meningkat antara pihak gereja dan pedagang Eropa dengan praktik riba.
Berbagai perangkat hukum dibuat untuk mengatasi pengharaman riba oleh gereja. Chown dalam Ahistory of Money (1994) menggambarkan salah satu perangkat hukumnya, contractus trinius yaitu investor pada saat yang sama mengadakan tiga kontrak dengan pengusaha; memberikan modal sebagai pihak yang pasif; memberikan asuransi kerugian; dan menjual keuntungannya pada harga tertentu dengan sejumlah uang tetap setiap tahunnya kepada pengusaha. Tiga kontrak tersebut secara terpisah menghindari praktik riba, tetapi efek kumulatifnya adalah peminjaman dengan bunga.
Ketika dihadapkan pada penyebaran praktik bunga yang tidak dapat dihentikan dalam dunia bisnis, pihak gereja akhirnya berkompromi secara prinsip dan mengundurkan diri sebagai oposisi pada tahun 1545, hukum di Inggris mengizinkan penerapan bunga pada batas tertentu, meskipun di atas batas tersebut masih dianggap riba. Tak lama, pendukung riba mendapat dukungan intelektual dari tempat yang paling mustahil.
Reformis agama Kristen, Luther dan Zwingli mengutuk riba, tetapi reformis Jean Calvin adalah yang pertama mendukung riba; satu abad kemudian penerusnya Claude Usury (1638) menulis, mengambil bunga pinjaman diperlukan untuk mencapai keselamatan. [Umar Vadillo: The End of Economic (1991)]
Ulama Islam senantiasa mengutuk riba :
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan lepaskan tagihan bunga atas pinjamanmu jika kamu benar-benar beriman. Jika tidak maka bersiaplah bermusuhan dengan Allah dan Rasul-Nya.”
(QS. AlBaqarah, 2:278)
Sekarang ini penentangan terhadap penerapan riba atas dasar dalil agama lebih dilihat sebagai keterbelakangan yang memalukan yang dimotivasi karena selera yang rendah terhadap pelaku riba. Sering argumentasi agama terkesan tidak ilmiah dan lemah dibandingkan dengan pandangan ekonom pendukung riba.
Sebaliknya berbagai argumentasi yang terlihat ilmiah dan dengan alasan yang masuk akal telah diciptakan untuk menjustifikasi penerapan bunga dan juga tingkat suku bunga. Dalam argumentasi tersebut perkiraan inflasi, pilihan utilitas marjinal yang semakin kecil menjadi ciri utama. Semua justifikasi itu mengajukan ide keunggulan sekarang dibanding masa depan, dan bunga diterapkan untuk mengganti kerugian buat mereka yang meminjamkan uang sekarang untuk uang yang akan datang.
Apa itu Entropi ?
Secara teoritis konsep entropi diturunkan dari hukum termodinamika I dan II, yang bekaitan dengan transformasi dan konservasi panas. Entropi adalah besaran yang mengukur derajat ketidakaturan suatu sistem. Prinsip ini menyatakan bahwa sistem tertutup, termasuk alam akan menuju pada kondisi ketidakteraturan atau menjadi semakin tidak teratur. Semakin tidak teratur berarti semakin tinggi nilai entropinya, demikian juga sebaliknya.
Dengan kata lain, setiap benda karena entropinya meningkat dengan cepat secara alamiah akan menuju pada pembusukan. Untuk mencegah agar entropi suatu sistem tidak meningkat dengan cepat, maka diperlukan ikhtiar manusia melalui aplikasi iptek. Sebagai contoh cepat atau lambat hutan-hutan kita akan mengalami deforestasi secara alamiah sekalipun melalui proses pembakaran hutan, dll. Belum lagi deforestasi akbit tangan-tangan jahil manusia. Untuk mengurangi deforastasi, maka diperlukan perangkat pemantauan, evaluasi, pencegahan, pemadaman serta komunikasi, termasuk juga perangkat hukum dan penegakannya.
Ketika fisikawan mengatakan bahwa entropi bertambah, mereka menggambarkan kecenderungan dari semua sistem fisik menuju ketidakteraturan yang lebih besar. Prinsip fisika yang menjadi dasar hukum termodinamika ini telah diterapkan pada dimensi fisik dari kemakmuran pada tahun 1926 oleh Federick Soddy dalam Wealth, Virtual Wealth and Debt dan dikembangkan lebih detil oleh yang lain, terutama Niclas Goergecu-Roegen dalam The Entropy Law the Economic Processs (1971). Analisis-analisis ini mempunyai banyak implikasi dalam ilmu ekonomi.
Hutang, Bunga Dan Deforestasi
Sistem ekonomi berbasis bunga bertentangan dengan hukum alam ini. Uang yang disimpan di bank dapat meningkat jumlahnya menuju tak berhingga. Sementara aset fisik akan meluruh menuju ”nol” sesuai dengan hukum entropi. Federick Soddy dan kemudian dikembangkan oleh Nicolas GR dalam Entropy Law and The Economic Process (1971) mengambil contoh peminjaman roti. Kalau seseorang meminjam 100 iris roti pada tahun 20 M dan sepakat dengan bungan 5%, maka dalam sistem bunga-berbunga, setelah 2 tahun dia harus membayar sejumlah 110,25 iris roti. Bisa anda bayangkan, berapa iris roti yang harus dibayar pada tahun 1995. Jangan terkejut kalau jumlahnya adalah F=100(1+0,05)1975 = 7,06 x 1043. Jumlah yang sangat fantastis. Tidak akan ada yang mampu membayarnya, bahkan jika setiap orang yang hidup di bumi berhasil menyimpan roti sebanyak 10 juta iris setiap hari selama hidupnya. Padahal realitasnya, roti pasti membusuk setelah beberapa hari. Fenomena yang ganjil, karena matematika yang digunakan bertentangan dengan realitas fisik kehidupan. Roti membusuk, sementara uang tidak. Roti bekerja mengikuti hukum alamiah-entropi, sementara uang tidak.
Sekarang, untuk membuat roti seseorang harus meramu sumberdaya alam dan energi pada tingkat keteraturan tertentu, artinya ia telah meningkatkan ketidakteraturan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan yang ada sebagai ongkos yang harus dibayar untuk membuat roti itu. Karenanya dapat dipahami jika semakin tinggi nilai suku bunga, maka dalam kasus peminjaman roti akan semakin besar jumlah roti yang harus dikembalikan, artinya semakin besar tingkat SDA dan lingkungan yang akan terjadi.
Miller, dalam Debt and the Environment : Coverging Crisis (1991) memprediksi bahwa penipisan jumlah SDA berkaitan secara eksplisit dengan pembayaran bunga atas hutang internasional. Brazil, Mexico dan Indonesia adalah negara-negara penghutang terbesar di dunia. Nilai hutang ini berhubungan dengan tingkat deforestasi Indonesia yang 1,6 juta ha/ tahun selama 10 tahun terakhir (Renstra Dephutbun, 2000). Karenanya menurut F. Soddy, dengan prinsip ribawi ini, yang kemudian akan merebak adalah semangat menggebu untuk mengubah kekayaan menjadi hutang agar dapat mengambil keuntungan masa depan darinya. Sebab kekayaan meluruh bersama waktu. Sementara hutang tetap, tidak berkurang, tidak perlu biaya untuk memeliharanya, bahkan memberi bunga terus-menerus. Berdasarkan prinsip finansial modern ribawi ini, negara maju akan terus maju melalui pemberian hutang. Mereka berkepentingan agar negara berkembang terus berhutang
Fakta lain yang cukup ironi mencengangkan sebagaimana dipaparkan Hadi S. Alikodra (Republika 28/8/01) adalah kenyataan bahwa IMF (International Monetary Fund) yang secara ekspllisit mencanangkan perang terhadap penebangan hutan secara liar (deforestasi), ternayat dalam LoI (Letter of Intent) 1998 justru mendesak Indonesia untuk membuka ekspor kayu log (utuh). IMF telah berjanji untuk menghambat deforestasi di Indonesia dengan menetapkan 12 komitmen, yang sekaligus berlaku sebagai syarat bagi kucuran dana mereka ke Indonesia. Komitmen itu secara umum merupakan tuntutan agar terjadi proses pencegahan terhadap laju deforestasi.
Nyatanya, komitmen seperti ini sepertinya tidak pernah ada alias kontadiktif. Dengan desakan agar Indonesia mengekspor kayu dalam bentuk utuh, artinya sama dengan desakan agar Indonesia membuang uang sebesar 4 miliar dolar AS per tahun. Karena desakan tersebut akan menggenjot para penebang liar melakukan deforestasi senilai 4 milliar dolar AS per tahun. Logikanya menjadi aneh. Sementara kita mengemis pada IMF untuk hutang yang hanya 400 juta dolar AS, pada saat yangsama kita manut saja menghapuskan uang negara sebesar 4 miliar dolar AS per tahun dari deforestasi yang dipicu oleh ekspor log itu. Belum lagi kerugian lain dan dampak negatifnya berupa kerugian akibat kerusakan ekosistem hutan yang nilainya jauh lebih besar. Sungguh sangat tidak sebanding.
(Diringkas dari buku Argumentasi Sains atas Bahaya Riba oleh Dr. Mulyanto)
No Response to "Argumentasi Sains Atas Bahaya Riba"
Leave A Reply