Jumat, 12 Februari 2010

Menggugat Paradigma Free Trade

Posted on 14.37 by Farizal

Pemberlakuan ACFTA tahun ini telah menyulut pro kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat meresponnya dengan melakukan unjuk rasa menolak ACFTA, karena dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi nasional yang masih terkena dampak krisis global. Belum lagi ditambah dengan masih rendahnya daya saing produk lokal kita di pasar global. Hal ini berpotensi mengancam bangkrutnya sejumlah industri lokal, seperti produsen tekstil dan jamu, akibat kalah bersaing, terutama dengan produk-produk China yang dianggap lebih murah.

Namun demikian, Mendag Marie E Pangestu meyakini bahwa free trade akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi ekspor dan penanaman modal di tanah air. Hal ini diperkuat oleh argumentasi Anggito Abimanyu yang berusaha menepis kekhawatiran akan dampak buruk ACFTA terhadap Indonesia karena volume perdagangan bangsa ini dengan ASEAN dan China baru mencapai angka 20 persen. Keyakinan kedua ekonom ini menyiratkan betapa kuatnya pengaruh paradigma pasar bebas dan liberalisasi ekonomi dalam tubuh pemerintah.

Dua Faktor

Jika mau jujur, formula free trade dan free market ini sesungguhnya telah menjelma menjadi “Tuhan” perekonomian dunia yang harus diterima seluruh bangsa tanpa kecuali. Bagi negara maju seperti AS, upaya untuk menolak perdagangan bebas hanya akan menyebabkan surutnya perdagangan dunia ke masa 1960-an..

Bagi penulis, ide awal free trade dan free market ini pada dasarnya tidak ada masalah dari sudut pandang ajaran Islam. Hal ini sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menolak untuk melakukan intervensi pasar pada saat harga mulai merangkak naik di pasar Madinah (hadits dari Anas bin Malik ra). Yang menjadi masalah adalah ketika konsep ini dijadikan jalan oleh sebagian kelompok manusia untuk menguasai dan mengeksploitasi kelompok manusia yang lain, sebagaimana yang terjadi saat ini.

Dalam kaitan ini, penulis melihat adanya dua faktor utama yang menyeret perekonomian dunia ke arah perdagangan bebas yang eksploitatif.. Pertama, kesalahan premis dasar teori perdagangan bebas itu sendiri, yang mempengaruhi paradigma para pengambil kebijakan. Kedua, faktor kepentingan masing-masing negara, terutama negara maju, yang menginginkan adanya ekspansi tanpa batas demi mencapai keuntungan ekonomi yang maksimal.

Secara teori, keberadaan perdagangan bebas akan menciptakan efisiensi. Industri akan berlomba-lomba untuk beroperasi seefisien mungkin agar dapat bersaing di pasar global. Akibatnya, keseimbangan (equilibrium) akan tercapai ketika semua pihak memproduksi barang atau jasa seefisien mungkin.

Di sisi lain, efisiensi akan mematikan industri yang kalah bersaing. Sebagai contoh, di negara maju seperti AS, petani yang memiliki lahan luas, pengolahannya memakai alat modern. Bandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia yang lahannya terbatas dan pengolahannya pun masih tradisional. Jelas saja petani di negara berkembang menjadi kurang efisien.

Akibatnya, produk pertanian dari negara maju dapat dinikmati dengan harga murah di negara berkembang, bahkan lebih murah dibandingkan dengan harga produk lokal. Hal ini mendorong petani di negara berkembang mengurangi jumlah produksinya, atau bahkan menghentikannya. Wajarlah jika angka kemiskinan petani yang jumlahnya hampir seperlima penduduk negara, berkembang semakin meningkat.

Selanjutnya, perdagangan dengan konsep efisiensi percaya bahwa harga akan membawa keseimbangan (equilibrium) dalam pasar. Teori keseimbangan ini merupakan deskripsi riil dari fungsi ekonomi kapitalis. Sudah barang tentu, pemilik modal yang besar akan lebih efisien dibanding pemilik modal yang kecil, apalagi jika dikomparasikan dengan yang tidak memiliki modal sama sekali. Inilah hukum rimba, di mana yang besar akan memakan yang kecil, dan yang efisien akan mematikan yang tidak efisien.

Tidak ada yang salah dari teori equilibrium itu jika titik berangkatnya adalah efisiensi, bukan manusia. Yang menjadi pertanyaan, mengapa titik berangkatnya bukan manusia?  Inilah kekeliruan besar teori general equilibrium.

Yang lebih keliru lagi adalah mengangkat konsep equilibrium ini ke dalam suatu teori yang disebut fundamental theorems of welfare economics. Yaitu, pareto optimal dapat tercapai jika ekonomi bersaing dengan sangat sempurna. Teori ini sama persis dengan invisible hand-nya Adam Smith 200-an tahun yang lalu yang menyatakan bahwa persainganlah yang membuat alokasi sumberdaya ekonomi mencapai keseimbangan. Pantaslah jika persaingan menjadi ‘ruh’ dalam perdagangan bebas antar bangsa. Bahkan Barat sangat percaya bahwa teori ini akan membuat ekonomi bangsa-bangsa di dunia menjadi maju. Suatu pandangan yang sangat keliru kalau kita melihat fakta yang terjadi.

Persaingan sempurna tidak pernah terjadi di dunia dan tidak pernah akan terjadi, bahkan bagi perusahaan kecil sekalipun. Dalam teori persaingan sempurna, perusahaan hanyalah sebagai penerima harga (price taker), dan bukan pembuat harga (price maker). Tetapi dalam kenyataannya, semua perusahaan kecil (apalagi perusahaan besar) berusaha untuk menjadi price maker melalui berbagai upaya di luar efisiensi harga, seperti memproduksi barang/jasa baru, memperbarui produk lama, membuat pelayanan yang lebih baik, dan pengiriman produk yang lebih cepat. Inilah yang disebut Ronald Coase sebagai “Blackboard Economics”, yaitu sebuah model atau teori yang ditulis di papan tulis dengan menggunakan istilah-istilah ekonomi, tetapi tidak mewakili apa yang terjadi di dalam ekonomi itu sendiri. Inilah ‘dosa terbesar’ dalam metodologi ilmu ekonomi konvensional.

Akibat dari dari dosa besar ini adalah, kita melupakan “the man behind the market”. Kita melupakan bahwa pasar memerlukan pedagang. Kita melupakan bahwa agen harus memegang barang agar pasar berfungsi, bahwa pasar harus diorganisasi, bahwa hak properti harus didefinisikan (lihat, berapa banyak produk asli Indonesia yang sudah dipatenkan oleh asing). Kita bahkan lupa bahwa pasar menyesuaikan diri melalui jumlah kuantitas, dan bukan harga (lihat pasar tenaga kerja dan pasar komoditi). Kita pun lupa bahwa pasar tidak dapat dibiarkan sebebas-bebasnya, karena akan mematikan sebagian pelaku pasar yang lain.

Menyiasati ACFTA

Yang sekarang menjadi persoalan adalah, kita tidak bisa menolak perjanjian ACFTA ini. Konsekuensinya akan sangat besar. Yang masih mungkin dilakukan adalah menyiasatinya, jika tidak mungkin menundanya. Paling tidak, ada beberapa solusi yang masih mungkin dilakukan.

Pertama
, menciptakan hambatan-hambatan nontarif, seperti melakukan standardisasi produk asing yang boleh masuk ke pasar domestik. Termasuk di dalamnya mewajibkan adanya sertifikasi halal, tidak hanya terhadap produk makanan dan kosmetika. Jika tekstil dan obat-obatan China menggunakan zat-zat yang membahayakan dan diharamkan dalam ajaran Islam, maka kita bisa menolaknya.

Kedua, meningkatkan mutu produk lokal agar memiliki value added.. Selama ini, kita lebih banyak mengekspor bahan mentah dan bukan hasil olahan berkualitas. Pola ini sangat disukai oleh China yang memang sangat membutuhkan bahan mentah.

Ketiga, melaksanakan dua sunnatullah dengan penuh kesungguhan. Yakni, meningkatkan ketaatan pada ajaran Islam, kerja keras, efisiensi, dan inovasi, serta, membersihkan harta dengan membayar zakat dan infak/sedekah. Sudah saatnya pendekatan vertikal semakin diperkuat karena janji Allah SWT adalah benar. Mereka yang senang berzakat dan berinfak/sedekah akan dijauhkan dari berbagai bala dan malapetaka (al-hadits), serta akan dilipatgandakan pahala dan hartanya. Inilah logika yang harus tertanam kuat di dada seluruh komponen bangsa: to share is to invest. Wallahu’alam.
 
 
Irfan Syauqi Beik dan Hendri Tanjung
Penulis Dosen FEM IPB dan Dosen FE-UIKA Bogor 
sumber: Hidyatullah

No Response to "Menggugat Paradigma Free Trade"

Leave A Reply

My Blog List