Kamis, 22 April 2010

Prinsip Pasar Modal Syariah

Oleh Irfan Sauqi Beik

Pasar modal merupakan salah satu tonggak penting dalam perekonomian dunia saat ini. Banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi pasar modal sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya.

Secara faktual, pasar modal telah menjadi financial nerve-centre (saraf finansial dunia, Red) dunia ekonomi modern. Bahkan, perekonomian modern tidak akan mungkin eksis tanpa adanya pasar modal yang terorganisir dengan baik. Setiap hari terjadi transaksi triliunan rupiah melalui institusi ini.

Sebagaimana institusi modern, pasar modal tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kesalahan. Salah satunya adalah tindakan spekulasi. Pada umumnya proses-proses transaksi bisnis yang terjadi dikendalikan oleh para spekulan.

Mereka selalu memperhatikan perubahan pasar, membuat berbagai analisis dan perhitungan, serta mengambil tindakan spekulasi di dalam pembelian maupun penjualan saham. Aktivitas inilah yang membuat pasar tetap aktif. Tetapi, aktivitas ini tidak selamanya menguntungkan, terutama ketika menimbulkan depresi yang luar biasa.

Hakikat aktivitas spekulasi dapat dirinci sbb. Pertama, spekulasi sesungguhnya bukan merupakan investasi, meskipun di antara keduanya ada kemiripan. Perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya terletak pada 'spirit' yang menjiwainya, bukan pada bentuknya.

Para spekulan membeli sekuritas untuk mendapatkan keuntungan dengan menjualnya kembali di masa mendatang. Sedangkan para investor membeli sekuritas dengan tujuan untuk berpartisipasi secara langsung dalam bisnis.

Kedua, spekulasi telah meningkatkan unearned income bagi sekelompok orang dalam masyarakat, tanpa mereka memberikan kontribusi apapun, baik yang bersifat positif maupun produktif. Bahkan, mereka telah mengambil keuntungan di atas biaya masyarakat, yang bagaimanapun juga sangat sulit untuk bisa dibenarkan secara ekonomi, sosial, maupun moral.

Ketiga, adalah spekulasi merupakan sumber penyebab terjadinya krisis keuangan. Fakta menunjukkan bahwa aktivitas para spekulan inilah yang menimbulkan krisis di Wall Street tahun 1929 yang mengakibatkan depresi yang luar biasa bagi perekonomian dunia di tahun 1930-an.

Begitu pula dengan devaluasi poundsterling tahun 1967, maupun krisis mata uang franc di tahun 1969. Ini hanyalah sebagian contoh saja. Bahkan hingga saat ini, otoritas moneter maupun para ahli keuangan selalu disibukkan untuk mengambil langkah-langkah guna mengantisipasi tindakan dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh para spekulan.

Dan, keempat, spekulasi adalah outcome dari sikap mental 'ingin cepat kaya'. Jika seseorang telah terjebak pada sikap mental ini, maka ia akan berusaha dengan menghalalkan segala macam cara tanpa mempedulikan rambu-rambu agama dan etika. Karena itu, ajaran Islam secara tegas melarang tindakan spekulasi ini, karena secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai illahiyah dan insaniyyah.

Prinsip dasar
Ada beberapa prinsip dasar untuk membangun sistem pasar modal yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan untuk implementasinya, memang dibutuhkan proses diskursus yang panjang.

Prinsip tersebut, antara lain, tidak diperkenankannya penjualan dan pembelian secara langsung. Saat ini, jika seseorang ataupun sebuah perusahaan ingin menjual atau membeli saham, dia akan menggunakan jasa broker atau pialang. Kemudian broker tersebut akan menghubungi jobbers dan menyampaikan maksud untuk bertransaksi, baik dalam pembelian maupun penjualan saham.

Kemudian para jobber ini menawarkan 2 rate harga, yaitu rate harga yang akan dibelinya yang biasanya lebih rendah dan rate harga yang akan dijualnya yang biasanya lebih tinggi.

Selanjutnya para jobber berkewajiban untuk membeli saham tersebut. Transaksi model ini memberikan 2 implikasi. Yang pertama, para jobber akan melakukan pembelian saham meskipun mereka belum tentu membutuhkannya.

Mereka membeli saham dengan harapan akan dapat menjualnya kembali kepada pihak yang memerlukan. Hal ini akan membuka pintu spekulasi. Para spekulan mengetahui bahwa mereka dapat membeli saham yang menguntungkan dari pasar karena para jobber ini mampu menyediakan ready stock.

Begitu pula bila saham tersebut ternyata kurang menguntungkan, mereka secara cepat dapat pula melepasnya. Implikasi selanjutnya adalah perubahan harga hanya ditentukan oleh kekuatan pasar, dimana tidak ada perubahan yang berarti dari nilai intrinsik saham.

Dalam ajaran Islam, aturan pasar modal harus dibuat sedemikian rupa untuk menjadikan tindakan spekulasi sebagai sebuah bisnis yang tidak menarik. Untuk itu, prosedur pembelian/penjualan saham secara langsung tidak diperkenankan.

Prosedurnya, setiap perusahaan yang memiliki kuota saham tertentu memberikan otoritas kepada agen di lantai bursa, untuk membuat deal atas sahamnya. Tugas agen ini adalah mempertemukan perusahaan tersebut dengan calon investor, dan bukan membeli atau menjualnya secara langsung.

Saham-saham tersebut dijual ataupun dibeli jika memang tersedia. Jika banyak pihak yang menginginkan saham tertentu, maka mereka terlebih dahulu harus terdaftar sebagai applicant, dan saham tersebut kemudian dijual/dibeli dengan prinsip first-come-first-served (siapa datang dulu dia dilayani, Red).

Determinasi harga
Saat ini, harga saham ditentukan oleh kekuatan supply dan demand. Sedangkan dalam aturan Islam, penentuan harga saham berbeda dengan penentuan harga seperti yang terjadi pada saat ini.

Jika kita melihat balance sheet dari joint stock company, maka terlihat bahwa aset sama dengan modal saham ditambah dengan kewajiban. Aset tersebut merupakan representasi dari modal, dimana kewajiban diasumsikan sama dengan nol.

Sehingga, sertifikat sahamnya memiliki nilai tertentu, dimana nilainya akan sama dengan nilai asetnya. Setiap harga saham yang di atas atau di bawah nilai asetnya, tidak menunjukkan kondisi sesungguhnya.

Tetapi kekuatan pasar mampu membuat harga saham tersebut berada di atas/di bawah nilai asetnya. Dalam pandangan Islam, untuk mencegah terjadinya distorsi ini, harga saham harus sesuai dengan nilai intrinsiknya.

Adapun formula perhitungannya adalah: harga saham sama dengan modal saham + keuntungan - kerugian + akumulasi keuntungan - akumulasi kerugian, yang kesemuanya dibagi dengan jumlah saham (Muhammad Akram, Issues in Islamic Economics).

Formula ini akan memberikan nilai sebenarnya dari sertifikat saham, dan akan lebih menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk membeli atau menjual pada berbagai level harga kecuali berdasarkan regulasi harga yang telah ditetapkan.

Pertanyaan, apakah dengan kebijakan seperti ini, para spekulan tidak akan tertarik dengan aktivitas spekulasinya? Ada dua alasan yang menjelaskan hal ini. Harga tidak akan berubah dengan cepat. Harga dideklarasikan sejak tanggal balance sheet dan berlaku hingga tanggal balance sheet berikutnya.

Selain itu, membeli ataupun menjual saham bukanlah pekerjaan mudah, dan banyak menimbulkan ketidakpastian. Para spekulan tidak akan gegabah di dalam membeli saham sebelum tanggal balance sheet. Hal ini akan mereduksi aktivitas spekulasi.

Prinsip dasar lainnya adalah penelitian account books secara cermat. Praktek standar manajemen bisnis dan akunting harus diterapkan pada semua perusahaan yang telah memiliki kuota saham tertentu. Kemudian, perlu ada proses audit dan investigasi secara mendadak untuk meneliti kebenaran dari balance sheet suatu perusahaan.

Selain itu, tiap perusahaan harus diminta untuk mengumumkan posisi keuangannya setiap tiga bulan sekali, sehingga publik akan tahu berapa sesungguhnya nilai intrinsik dari sahamnya minimal 4 kali dalam setahun.

Tentu saja tanggal penutupan suatu perusahaan akan berbeda dengan perusahaan lainnya, sehingga tanggal pengumuman posisi keuangannya pun akan berbeda-beda. Dengan demikian, hampir setiap minggu sepanjang tahun, akan ada penutupan dan pengumuman posisi keuangan, dan hal ini akan tetap membuat pasar aktif sepanjang tahun.

Prinsip dasar ini juga melarang perusahaan untuk menjual saham mereka sendiri. Perusahaan selanjutnya dilarang untuk menjual sahamnya sendiri di pasar tanpa ada izin dari pencatat/pendaftar Join Stock Company.

Selain itu, ada larangan pemberian kredit untuk tujuan spekulasi. Pemberian pinjaman dana untuk tujuan spekulasi di pasar modal sangat dilarang dalam Islam.

Forward transaction
Salah satu bagian besar dari spekulasi bisnis adalah adanya forward transaction, dimana dua pihak yang bertransaksi bersepakat untuk melakukan pengiriman pada tanggal tertentu di masa mendatang. Biasanya antara satu hingga dua belas bulan setelah tanggal transaksi. Di London Stock Exchange, forward transaction ini telah dilarang dalam skala yang lebih luas.

Selain itu, juga tidak dibolehkan adanya short selling. Ini adalah menjual saham sebelum seseorang memilikinya, dengan harapan dapat membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah.

Contango juga tidak diperbolehkan. Ada dua alasan mengapa contango tidak akan terjadi dalam pasar modal syariah. Pertama, harga tidak akan berubah cepat karena harga ditentukan oleh nilai intrinsik dari saham. Kemudian yang kedua, dana untuk contango yang bersumber dari riba tidak akan tersedia karena Islam melarang riba atau sejenisnya.

Begitu juga transaksi option, baik single option maupun double option keduanya tidak diperbolehkan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan Mishkat dalam Kitab al-Bai.

Adanya pengawasan terhadap keseluruhan aktivitas pasar modal. Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan pasar modal syariah, sekaligus untuk mencegah terjadinya penyimpangan dari nilai-nilai Islam, maka diperlukan adanya lembaga yang memiliki otoritas penuh, yang beranggotakan tidak hanya ahli keuangan saja, tetapi juga pakar hukum/syariah Islam.

Rabu, 21 April 2010

Ekonomi Syariah dan Negara Islam

Oleh Mhd. Fatih al-Malawy
Mencuatnya dua hal yang menjadi perhatian publik tentang syariah Islam, yakni ekonomi syariah dan sistem tata negara Islam atau daulah khilafah (selanjutnya negara Islam), baik di media cetak maupun elektronik setidaknya telah menjadikan kaum Muslim khususnya, mempunyai spirit untuk kembali kepada penerapan syari'at Islam secara kaaffah (sempurna). Namun, penerapan ekonomi syariah Islam secara kaaffah tetap menyisakan masalah jika tidak di bawah negara Islam. Karena, penerapan sistem ekonomi syariah bukan hanya mengumpulkan dana zakat, infak, shadaqah pada skala besar. Atau ekonomi syariah Islam bukan hanya pendanaan proyek atau bisnis dalam sistem perseroan (syirkah), lebih dari itu sistem ekonomi syariah Islam juga menyangkut politik pertanian, politik industri, dan menciptakan pasar-pasar luar negeri bagi hasil produksi negara.

Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah din yang paripurna, Islam memiliki syariah yang syamil kamil (komprehensif lagi sempurna)(lihat QS an-Nahl [16]: 86 dan al-Maidah [5]: 3). Dengan demikian seluruh hukum Islam wajib diterapkan (lihat QS al-Maidah [5]: 49 dan al-Hasyr [59]: 7). Hanya saja, di antara hukum-hukum syariah itu: pertama, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu seperti aqidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlaq. Beberapa hukum mu'amalah pelaksanaannya juga dapat dilaksanakan individu tanpa harus melibatkan negara seperti perdagangan, ijarah, pernikahan, warisan, dan sebagainya.

Kedua, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada negara semisal sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik dalam atau luar negeri; juga berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan atas setiap bentuk pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti ini tidak boleh dilakukan oleh individu. Sebab, selain pelaksanaannya tidak kaaffah dan menyisakan masalah, lebih dari itu wewenang untuk menjalankan hukum-hukum tersebut ada di tangan khalifah sebagai kepala negara Islam secara syar'i.

Berdasarkan hal ini keberadaan negara Islam merupakan sesuatu yang bersifat dharuri (sangat penting) untuk melaksanakan Islam secara kaaffah. Tanpa ada sebuah negara Islam, mustahil syariah bisa diberlakukan secara total. Bertolak dari pemikiran inilah kemudian al-Qurthubi menyatakan bahwa kaum Muslim wajib hukumnya mengangkat imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan umat Islam, dan menerapkan hukum-hukum syariah (lihat al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, vol. I, hal. 182). Lebih dari itu para sahabat telah beriijma' untuk mengangkat Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah di Saqifah Bani Saidah.

Ekonomi Dalam Negara Islam
Asas yang dipergunakan dalam membangun sistem ekonomi dalam negara Islam berdiri di atas tiga kaidah: kepemilikan (al-milkiyah), pengelolaan (tasharruf), serta distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Adapun yang terkait dengan politik ekonomi Islam adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) tiap-tiap individu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya sebagai individu rakyat di negara Islam. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tidak sekadar meningkatkan taraf hidup dalam sebuah negara semata yang didasarkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, lebih dari itu dasar penentuan politik ekonomi Islam adalah pendistribusian kekayaan agar terpenuhinya semua kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat, baik Muslim maupun non Muslim (ahlu dzimmah) dan menjadikan masing-masing individu mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya, bukan pada pertumbuhan kekayaan.

Kepemilikan (al-milkiyah) dalam Islam adalah izin syara' untuk memiliki harta kepada seseorang atau institusi tertentu. Jadi, harta kekayaan dapat dimiliki seseorang atau institusi apabila syariat Islam membolehkan untuk memilikinya. Dengan demikian, harta kekayaan sebenarnya adalah milik Allah Swt semata. Hanya masalahnya, Allah Swt telah menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan. Karena itu sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memilikinya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syara'. Maka, manusia esensinya hanya diberi istikhlaf (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil).

Syara' telah menjelaskan bahwa kepemilikian (al-milkiyah) terbagi tiga: pertama, kepemilikan individu yaitu hukum syara' yang berlaku bagi zat atau kegunaan (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk dimiliki atau memanfaatkan barang tersebut. Dan ini bisa diperoleh melalui bekerja, warisan, hibah dan sebagainya. Kedua, kepemilikan umum yaitu izin As-Syari' kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda tersebut. Benda ini seperti fasilitas umum, barang tambang yang tidak terbatas, dan sumber daya alam seperti air, api dan hutan. Ketiga, kepemilikan negara yaitu harta negara yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara Islam (selanjutnya khalifah). Harta ini seperti fa'i, jizyah, kharaj, dharibah, usyur, khumus dan sebagainya.

Adapun pengelolaan (tasharruf) adalah hak pengelolaan yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari hukum syara' dengan adanya kebolehan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan, sekaligus memperoleh kompensasi karena adanya pemanfaatan tersebut. Sehingga, hak mengelola zat benda yang dimiliki juga mencakup hak untuk mengelolanya dalam rangka mengembangkan kepemilikan benda tersebut, termasuk hak untuk mengelolanya dengan cara menafkahkan, baik karena hubungan seperti hadiah, hibah, dan wasiat maupun karena menjadi suatu nafkah seperti ayah terhadap anaknya.

Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat adalah politik ekonomi negara Islam agar keseimbangan ekonomi rakyat bisa merata dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang saja. Allah Swt berfirman: "supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (TQS. al-Hasyr [59]: 7). Karena itu, khalifah harus menciptakan keseimbangan ekonomi tersebut dengan menyuplai rakyat yang fakir dengan harta yang diambil dari baitul mal (kas Negara). Sehingga, dengan suplai tersebut bisa diwujudkan keseimbangan ekonomi.

Bahwa fenomena bobroknya sirkulasi kekayaan di antara individu dengan jelas dan gamblang di berbagai negara merupakan sebuah fakta yang terjadi. Yang kesemuanya tadi ditunjukkan oleh kenyataan hidup sehari-hari, yang tidak perlu lagi banyak argumentasi. Begitu pula kesenjangan yang lebar, yang dialami oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tidak perlu lagi dijelaskan kerawanan dan absurditasnya.

Orang-orang Kapitalis telah berusaha memecahkan problem tersebut, tetapi tidak berhasil. Para ahli ekonomi Kapitalis ketika membahas teori tentang distribusi pendapatan, begitu mengabaikan buruknya distribusi pendapatan personal, bahkan mereka hanya memaparkan perhitungan-perhitungan tanpa memberikan solusi yang mendalam. Begitu pula dengan orang-orang Sosialis. Mereka tidak menemukan cara untuk memecahkan masalah buruknya distribusi itu, selain hanya membatasi hak milik dengan cara memberangus hak milik itu. Sehingga, orang-orang Sosialis akhirnya memberikan solusi dengan melarang hak milik itu.

Sementara Islam, justru telah menjamin distribusi tersebut dengan baik, yaitu dengan menentukan tata cara pemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dengan harta yang bisa menjamin hidupnya sebanding dengan sesamanya dalam komunitas masyarakat. Hal ini dalam rangka mewujudkan keseimbangan dalam memenuhi kebutuahn-kebutuhannya di antara sesamanya. Dengan demikian, Islam telah memecahkan masalah buruknya distribusi kekayaan tersebut.

Oleh karena itu, hanya negara Islamlah yang mampu mewujudkan sistem ekonomi syariah secara kaaffah. Karena itu, merupakan kesalahan yang fatal apabila sistem ekonomi syariah Islam dipisahkan dari negara Islam. Sebab, hal semacam itu tentu akan menyebabkan kesalahan dalam memahami masalah-masalah ekonomi yang ingin dipecahkan, bahkan akan menyebabkan buruknya pemahaman terhadap faktor-faktor produksi yang menghasilkan kekayaan dalam suatu negara. Ekonomi Islam hanya akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam negara Islam yang menerapkan Islam secara kaaffah. Sebab, sistem kehidupan Islam itu bersifat integral dan saling melengkapi. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

* Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Peradaban Islam

Selasa, 20 April 2010

Gelembung Perekonomian; Sebuah Fatamorgana

oleh MERZA GAMAL
MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Dalam sebuah siklus ekonomi, pasang surut perekonomian merupakan sebuah hal yang lumrah terjadi. Sebuah siklus ekonomi, selalu melihatkan adanya fase lonjakan yang tanpa terelakkan akan disusul oleh sebuah peluruhan (bust).

Era Ekonomi Baru yang lahir setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet, telah menjadikan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tunggal dan menandai kemenangan ekonomi pasar atas sosialisme.  Kondisi pasar yang terjadi pada era ekonomi baru, bukan hanya kapitalisme mengalahkan komunisme, tetapi juga menjadikan kapitalisme versi Amerika yang didasari kegigihan individualisme mengalahkan versi-versi kapitalisme lain yang lebih lunak dan halus (Stiglitz, 2003).

Seiring proses globalisasi, maka terjadilah penyebaran kapitalisme gaya Amerika ke seluruh dunia. Semua pihak, pada awal era ekonomi baru seolah memperoleh manfaat dari tatanan Economia Americana. Tatanan ini mendorong peningkatan aliran dana yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari negara maju ke dunia berkembang, yakni enam kali lipat dalam enam tahun, peningkatan perdagangan yang mencapai 90% lebih dalam satu dekade, dan angka pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Kondisi ini diharapkan akan menciptakan lapangan kerja yang besar dan pertumbuhan kesejahteraan yang lebih baik. Inti kapitalisme era baru ini ditandai dengan kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi yang merevolusi cara dunia berbisnis. Ia juga mengubah laju perubahan teknologi itu sendiri dan meningkatkan tingkat pertumbuhan produktivitas ke taraf yang tidak tercapai dalam seperempat abad lebih.

Dunia pernah mengalami revolusi ekonomi pada abad 18-19, yakni Revolusi Industri, yang menggeser basis perekonomian dari pertanian ke manufaktur. Era Ekonomi Baru juga menunjukkan pergesaran perekonomian sebagaimana Revolusi Industri. Pergeseran yang terjadi pada Era Ekonomi Baru adalah pergeseran produksi “barang” (manufaktur) ke produksi “gagasan”. Ekonomi Baru, lebih memerlukan pengolahan informasi dibandingkan persediaan barang. Mulai pertengahan era 1990-an, sektor manufaktur menyusut mendekati 14% dari total output perekonomian. Hal ini berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja yang bahkan jauh lebih kecil dari era sebelumnya.

Berubahnya basis perekonomian dari manufaktur ke gagasan, menjadikan perusahaan teknologi menjadi primadona dalam lapangan bisnis era ekonomi baru. Perusahaan-perusahaan teknologi menjadi rebutan para investor untuk menginvestasikan dana mereka. Rebutan investor dalam mengiventasikan dananya pada suatu sektor dapat mengakibatkan munculnya “kegairahan irasional”  dalam sebuah pasar. Perlu disadari, bahwa dalam ekonomi pasar, harga merupakan faktor penting guna membangun kepercayaan dan berfungsi sebagai sinyal yang menuntun alokasi sumber daya. Jika harga didasari oleh informasi mengenai fakta dasar suatu pasar tertentu, maka keputusan yang dibuat investor berdasarkan harga tersebut merupakan keputusan yang sehat. Dengan demikian, sumber daya akan dialokasikan dengan baik dan perkeonomian akan tumbuh dengan wajar.

Akan tetapi, apabila harga-harga sesungguhnya bersifat acak yang didasari oleh keranjingan irasional spekulator pasar, maka investasi akan kacau balau. Spekulasi muncul akibat terlalu mengandalkan kepercayaan pasar dibandingkan pengetahuan tentang pasar, dan kurang mengindahkan ekonomi riil yang melandasi pemilihan investasi. Hal tersebut memunculkan sebuah “kegairahan irasional”, sehingga harga-harga yang terjadi hanya didasari oleh keranjingan semata. Demi mengejar kenaikan harga dan keuntungan, para investor mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan normal perilaku investasi rasional. Mereka melakukan investasi di dalam pasar yang sebenarnya bercirikan risiko tinggi.

Perkembangan yang tidak rasional tersebut, menurut Gilpin & Gilpin (2000), merupakan tahap “mania” atau “gelembung” dalam bom. Pada saat tahap ini semakin cepat, maka harga dan laju penambahan uang yang dispekulasikan pun meningkat. Kemudian, pada titik tertentu pasar akan mencapai puncaknya. Beberapa investor dalam mulai mengkonversi investasinya ke bentuk uang atau memindahakan ke investasi lain, untuk mengantisipasi kondisi yang akan terjadi berikutnya.Melihat hal itu, banayak spekulan yang sadar, bahwa “permainan” akan berkahir dan ikut menjual asset-asset investasi mereka. Lomba adu cepat untuk keluar dari asset-asset yang berisiko dan bernilai tinggi menjadi semakin sengit, dan pada akhirnya berubah menjadi gerombolan liar yang mengejar kualitas dan keamanan.

Peritiwa tersebut dapat menimbulkan sinyal pasar yang memicu kekacauan dan menyebabkan paniknya dunia keuangan. Kepanikan tersebut dapat berupa kegagalan bank, bangkutnya suatu perusahaan, atau sejumlah peristiwa yang tidak mendukung lainnya. Ketika para investor terburu-buru keluar dari pasar, harga-harga pun berjatuhan, kebangkutan meningkat, dan “gelembung” spekulasi akhirnya meletus yang menyebabkan harga ambruk. Kepanikan terjadi setelah para investor dengan putus asa mencoba menyelamatkan diri mereka sedapat mungkin. Kemudian, bank-bank menghentikan pinjaman yang menyebabkan remuknya kredit, satu resesi, atau bahkan mungkin depresi mengikutinya. Pada akhirnya, panic akan mereda dengan cara tertentu, ekonomi terpulihkan, dan pasar kembali pada kesetimbangan, setelah membayar sedemikian mahal.

Menurut Stiglitz (2003), selama bertahun-tahun, semakin banyak bukti bahwa pasar sering tidak berjalan dengan baik. Walaupun, hubungan antar harga saham dengan informasi masuk akal, tetapi seringkali naik turunnya harga tidak demikian. Fluktuasi pasar benar-benar acak. Sifat pasar yang acak dan tidak efisien mempunyai biaya yang mahal dan menyebabkan suatu perusahaan mendapatkan investasi berlebih, sementara sebagian perusahaan lain mendapatkan investasi telalu sedikit bahkan mungkin tidak dapat sama sekali.

Pertumbuhan ekonomi di era ekonomi baru yang seringkali diwarnai dengan kegairahan irasional, juga menimbulkan suatu kondisi lain. Kondisi tersebut melahirkan pemisahan yang semakin besar antara kepemilikan dengan pengelolaan korporasi. Pengelola perusahaan atas nama jutaan pemegang saham mengelola korporasi. Namun, pemegang saham awam sulit memahami apa yang sesungguhnya terjadi atas investasi mereka pada korporasi tersebut. Kondisi yang terjadi saat ini dikenal sebagai modal uang atau kapitalisme uang (Korten, 1999). Pemilik modal menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari realitas perdagangan praktis. Mereka menggantungkan hidup dari pendapatan yang diperoleh dari kepemilikan uang dan mengharapkan tabungan yang diinvestasikan semakin menumpuk, namun kondisi tersebut menyimpang dari realitas ekonomi yang mendasarinya.

Kapitalisme uang telah memberikan kesempatan kepada orang yang memiliki uang untuk meningkatkan tututan mereka terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya tanpa memberi kontribusi kepada produksinya. Aktivitas seperti itu, menyebabkan sejumlah kecil orang menjadi kaya tapi tidak produktif. Menurut Korten, ketidakmampuan kapitalisme uang untuk membedakan antara investasi yang produktif dan yang ektraktif merupakan salah satu sifat yang menjadi ciri khasnya. Berdasarkan logika kapitalisme uang, definisi uang adalah kekayaan, dan tujuan aktivitas ekonomi adalah bagaiman menciptakan uang sebanyak mungkin.

Dari sebuah studi yang dilakukan oleh Mc Kinsey, dilaporkan bahwa antara tahun 1980-1992, asset keuangan negara-negara OECD (the Organization for Economic Cooperation and Development, yang merupakan 29 negara industri utama) tumbuh dua kali lebih cepat daripada pertumbuhan PDB mereka. Hal itu, menunjukkan bahwa tuntutan yang potensial terhadap hasil ekonomi berkembang dua kali lipat daripada laju pertumbuhan hasil itu sendiri. Pembesaran asset keuangan seperti itu, merupakan suatu distorsi ekonomi yang amat menyesatkan. Penyesatan itu terjadi, menurut Korten, karena pemindahan kekuasaan ekonomi dari orang yang menciptakan kekayaan yang sesungguhnya kepada orang membuat uang.

Menciptakan sebuah gelembung keuangan, telah menjadi salah satu cara membuat uang tanpa memberikan kontribusi produktif bagi sebagian orang. Seringkali terjadi, suatu lembaga mempromosikan sebuah skema invetasi yang tidak didukung oleh suatu aktivitas yang produktif. Banyak pemilik tabungan tergoda untuk ikut serta menanamkan investasinya akibat kepiawaian promosi yang dilakukan dengan janji keuntungan yang sangat besar setiap bulan. Oleh karena banyaknya dana yang masuk, dengan gampang pihak yang melakukan promosi tersebut memakai sebagian uang dari investor untuk membayar keuntungan-keuntungan yang telah dijanjikan kepada investor yang datang terlebih dahulu. Pembayaran keuntungan ini menimbulkan rasa percaya terhadap skema itu, sehingga menambah keyakinan banyak orang untuk berinvestasi. Akibatnya, banyak orang dicengkram demam spekulasi dan menjual asset mereka untuk ikut serta dalam keuntungan besar yang dijanjikan  berupa harta kekayaan yang diperoleh tanpa susah payah. Kemudian, pada titik tertentu, semua menjadi terbalik. Asset yang dipertaruhkan untuk mendapatkan kekayaan yang luar biasa, hanya menjadi impian kosong dengan hilangnya pihak yang seharusnya bertanggungjawab.

Gelembung keuangan (financial bubble) yang bersifat spekulatif tersebut melibatkan penawaran benda-benda yang jauh lebih besar daripada nilai yang sesungguhnya. Hal itu merupakan bentuk penipuan yang canggih dan terselubung serta memakan banyak korban. Menurut Korten (1999), kondisi itu, juga dapat terjadi dalam bursa dunia. Banyak orang berdasarkan keyakinan yang salah, bahwa membeli saham atau reksa dana akan menghasilkan keuangan yang produktif di masa depan. Akan tetapi, berdasarkan angka Federal Reserve tahun 1993, pendanaan saham yang dijual melalui penjualan saham baru hanya menyumbang empat persen terhadap seluruh modal keuangan dari perusahaan-perusahaan terbuka di Amerika Serikat. Sisa modal didapatkan dari pinjaman sebesar 14%, dan pendapatan yang ditahan sebesar 82%. Banyak orang tidak sadar, bahwa ternyata perusahaan-perusahaan tersebut lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli saham mereka sendiri dibandingkan dengan apa yang mereka terima dari penerbitan saham-saham baru.

Era ekonomi baru telah membawa sebuah era di mana milyaran dolar dalam bentuk “investasi” baru mengalir amat deras ke pasar saham dan menaikkan harga-harga dengan kecepatan yan belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi, aliran dana yang murni dari pasar saham ke perusahaan pada hakikatnya adalah negatif. Menurut Korten, sesungguhnya, pasar saham adalah sebuah kasino judi canggih dengan wataknya yang unik. Para pemain di pasar saham, melalui interaksinya, memperbesar harga saham-saham yang dimainkan demi menambah asset keuangan kolektif mereka. Hal itu, memperbesar tuntutan mereka terhadap kekayaan yang sesungguhnya dari anggota masyarakat yang lain.

Berjalannya permainan tersebut, dapat dirasakan dari krisis moneter Asia akibat perputaran pasar saham dunia yang berdampak terhadap kehidupan manusia-manusia sesungguhnya. Pada tahun 1997, mukjizat keuangan Asia yang sering digembar-gemborkan sebelumnya, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran keuangan Asia. Kehancuran tersebut dimulai dari Thailand, dan kemudian dengan cepat mejalar, sebagaimana deretan kartu domino yang berjatuhan, ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, dan Hong Kong.

Pada fase mukjizat Asia, pemasukan mata uang asing yang besar dengan cepat mencetuskan gelembung-gelembung keuangan yang berkembang dalam saham dan real estate. Pertumbuhan yang cepat dalam impor dan penjualan barang-barang konsumsi mewah, menciptakan sebuah khayalan kemakmuran ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan suatu pertambahan dalam hasil produkstif yang sesungguhnya. Gelembung-gelembung yang semakin berkembang itu, lalu menarik lebih banyak uang lagi. Uang tersebut diciptakan oleh bank-bank internasional yang menerbitkan hutang yang diperoleh karena asset-asset yang digelembungkan itu. Hasil-hasil yang diperoleh dari investasi industri dan pertanian produktif tidak dapat bersaing dengan hasil-hasil yang diperoleh dari spekulasi saham dan real estate. Oleh karena itu, investasi asing yang masuk ke dalam sebuah negara, memperbanyak uang-uang yang mengalir keluar dari sektor-sektor produktif untuk ikut serta dalam ajang spekulasi.

Pada fase kehancuran, para investor bergegas menarik uang mereka keluar untuk mengantisipasi keambrukan. Harga saham dan real estate menjadi jatuh. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya dibiarkan begitu saja dengan sejumlah besar daftar hutang yang tidak dapat ditagih. Kehancuran keuangan mengancam karena likuiditas telah kering.

Untuk menyelamatkan kondisi tersebut, pemerintah membayarkan hutang-hutang para banker dan badan-badan investasi dengan uang pemerintah. Kemudian, IMF bergegas membantu dengan hutang darurat yang dijamin oleh pemerintah. Sebagai contoh, IMF memberikan bantuan USD 57 milyar kepada Korea Selatan pada bulan Desember 1997. Pasar saham Korea meningkat kembali dengan bergairah untuk seketika. Kemudian, para spekulator mengambil uang IMF itu dan melarikan diri. Akibatnya, pasar saham menderita kejatuhan 50% dan pembayar pajak Korea mendapatkan surat hutang IMF sebanyak USD 57 milyar ditambah dengan bunga yang harus dibayar dalam valuta asing.

Pengalaman Asia, mengajarkan, bahwa suatu kenyataan yang amat umum terjadi, yaitu kemampuan kapitalisme untuk menciptakan sebuah khayalan kemakmuran dengan jalan menciptakan demam spekulasi. Hal yang terjadi sebenarnya, adalah sebuah kenyataan yang menggerogoti aktivitas yang benar-benar produktif. Banyak pihak terhanyut dalam kehancuran gelembung-gelembung keuangan yang disebabkan oleh spekulasi uang di pasar saham dan peminjaman uang yang tidak bertanggungjawab oleh bank. Namun demikian, tampaknya para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme itu, tetap tidak mempan dan tidak paham terhadap perbedaan investasi produktif (yaitu menggunakan tabungan untuk menambah dasar modal produktif) di satu pihak, dan investasi yang ekstraktif (yaitu menghasilkan uang dengan jalan spekulasi untuk mengajukan tuntutan kekayaan orang lain yang benar-benar ada) di lain pihak.

Ketidakpahaman para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme uang tersebut, mungkin terkait dengan terjadinya transaksi keuangan internasional yang lebih besar daripada harga keseluruhan ekonomi global pada dekade terakhir. Volume perdagangan uang internasional mencapai USD 1,5 milyar per hari, atau meningkat delapan kali lipat dari dekade sebelumnya. Namun, sebaliknya volume ekspor barang dan jasa global selama satu tahun hanya USD 6,6 trilyun atau hanya USD 25 milyar per hari. Hal itu memperlihatkan, bahwa betapa mencoloknya perbedaan perdagangan riil dibandingkan dengan perdagangan asset-asset keuangan yang bersifat maya.

Logika kapitalisme uang yang kurang memperdulikan tindakan-tindakan dalam membuat tambahan bersih kepada hasil produk dan jasa, mengakibatkan tidak satu sen pun investasi dalam menciptakan atau mempertinggi suatu asset yang produktif. Tujuan kapitalisme uang hanya menambah keseluruhan nilai pasar dari surat-surat berharga yang diperdagangkan, sehingga hanya berfungsi untuk menciptakan gelembung-gelembung uang sementara. Gelembung-gelembung tersebut akan menambah tuntutan mereka yang memegang sekuritas dalam menghadapi kekayaan masyarakat yang sesungguhnya.

Dengan kondisi demikian, menurut Korten, kapitalisme uang telah melupakan produksi dan kepentingan-kepentingan kelas pekerja, masyarakat, dan alam. Logika kapitalisme uang, saat ini, sedang mengendalikan pembuatan kebijakan-kebijakan dalam ekonomi global, dan sedang menyebabkan keruntuhan keuangan dari sebuah negara ke negara lain. Di bawah kekuasaan kapitalisme uang, penghargaan akan jatuh kepada mereka yang membuat uang, bukan kepada pekerja yang digaji dan benar-benar membuat hal-hal yang para pembuat uang itu ingin membelinya.

Akhirnya teori ekonomi yang menyatakan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan meningkatnya kesempatan kerja tidak selalu menjadi kenyataan pada saat ini, dan telah menjadi teori yang usang. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang disebabkan gelembung-gelembung keuangan tidak lebih dari sebuah fatamorgana yang menyilaukan.

Sukuk it up: Sharia-compliant finance is not broken, but it is dented

Apr 15th 2010 | From The Economist print edition


THERE was a time when proponents of Islamic finance sniffed opportunity in the crisis. The problems of speculative, casino-like Western banks contrasted nicely with the emphasis that sharia-compliant finance places on an ethical, risk-sharing approach. But risk-sharing looks much less appealing when issuers are defaulting.

My Blog List