Rabu, 21 April 2010

Ekonomi Syariah dan Negara Islam

Posted on 12.57 by Farizal

Oleh Mhd. Fatih al-Malawy
Mencuatnya dua hal yang menjadi perhatian publik tentang syariah Islam, yakni ekonomi syariah dan sistem tata negara Islam atau daulah khilafah (selanjutnya negara Islam), baik di media cetak maupun elektronik setidaknya telah menjadikan kaum Muslim khususnya, mempunyai spirit untuk kembali kepada penerapan syari'at Islam secara kaaffah (sempurna). Namun, penerapan ekonomi syariah Islam secara kaaffah tetap menyisakan masalah jika tidak di bawah negara Islam. Karena, penerapan sistem ekonomi syariah bukan hanya mengumpulkan dana zakat, infak, shadaqah pada skala besar. Atau ekonomi syariah Islam bukan hanya pendanaan proyek atau bisnis dalam sistem perseroan (syirkah), lebih dari itu sistem ekonomi syariah Islam juga menyangkut politik pertanian, politik industri, dan menciptakan pasar-pasar luar negeri bagi hasil produksi negara.

Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah din yang paripurna, Islam memiliki syariah yang syamil kamil (komprehensif lagi sempurna)(lihat QS an-Nahl [16]: 86 dan al-Maidah [5]: 3). Dengan demikian seluruh hukum Islam wajib diterapkan (lihat QS al-Maidah [5]: 49 dan al-Hasyr [59]: 7). Hanya saja, di antara hukum-hukum syariah itu: pertama, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu seperti aqidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlaq. Beberapa hukum mu'amalah pelaksanaannya juga dapat dilaksanakan individu tanpa harus melibatkan negara seperti perdagangan, ijarah, pernikahan, warisan, dan sebagainya.

Kedua, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada negara semisal sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik dalam atau luar negeri; juga berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan atas setiap bentuk pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti ini tidak boleh dilakukan oleh individu. Sebab, selain pelaksanaannya tidak kaaffah dan menyisakan masalah, lebih dari itu wewenang untuk menjalankan hukum-hukum tersebut ada di tangan khalifah sebagai kepala negara Islam secara syar'i.

Berdasarkan hal ini keberadaan negara Islam merupakan sesuatu yang bersifat dharuri (sangat penting) untuk melaksanakan Islam secara kaaffah. Tanpa ada sebuah negara Islam, mustahil syariah bisa diberlakukan secara total. Bertolak dari pemikiran inilah kemudian al-Qurthubi menyatakan bahwa kaum Muslim wajib hukumnya mengangkat imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan umat Islam, dan menerapkan hukum-hukum syariah (lihat al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, vol. I, hal. 182). Lebih dari itu para sahabat telah beriijma' untuk mengangkat Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah di Saqifah Bani Saidah.

Ekonomi Dalam Negara Islam
Asas yang dipergunakan dalam membangun sistem ekonomi dalam negara Islam berdiri di atas tiga kaidah: kepemilikan (al-milkiyah), pengelolaan (tasharruf), serta distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Adapun yang terkait dengan politik ekonomi Islam adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) tiap-tiap individu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya sebagai individu rakyat di negara Islam. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tidak sekadar meningkatkan taraf hidup dalam sebuah negara semata yang didasarkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, lebih dari itu dasar penentuan politik ekonomi Islam adalah pendistribusian kekayaan agar terpenuhinya semua kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat, baik Muslim maupun non Muslim (ahlu dzimmah) dan menjadikan masing-masing individu mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya, bukan pada pertumbuhan kekayaan.

Kepemilikan (al-milkiyah) dalam Islam adalah izin syara' untuk memiliki harta kepada seseorang atau institusi tertentu. Jadi, harta kekayaan dapat dimiliki seseorang atau institusi apabila syariat Islam membolehkan untuk memilikinya. Dengan demikian, harta kekayaan sebenarnya adalah milik Allah Swt semata. Hanya masalahnya, Allah Swt telah menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan. Karena itu sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memilikinya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syara'. Maka, manusia esensinya hanya diberi istikhlaf (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil).

Syara' telah menjelaskan bahwa kepemilikian (al-milkiyah) terbagi tiga: pertama, kepemilikan individu yaitu hukum syara' yang berlaku bagi zat atau kegunaan (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk dimiliki atau memanfaatkan barang tersebut. Dan ini bisa diperoleh melalui bekerja, warisan, hibah dan sebagainya. Kedua, kepemilikan umum yaitu izin As-Syari' kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda tersebut. Benda ini seperti fasilitas umum, barang tambang yang tidak terbatas, dan sumber daya alam seperti air, api dan hutan. Ketiga, kepemilikan negara yaitu harta negara yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara Islam (selanjutnya khalifah). Harta ini seperti fa'i, jizyah, kharaj, dharibah, usyur, khumus dan sebagainya.

Adapun pengelolaan (tasharruf) adalah hak pengelolaan yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari hukum syara' dengan adanya kebolehan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan, sekaligus memperoleh kompensasi karena adanya pemanfaatan tersebut. Sehingga, hak mengelola zat benda yang dimiliki juga mencakup hak untuk mengelolanya dalam rangka mengembangkan kepemilikan benda tersebut, termasuk hak untuk mengelolanya dengan cara menafkahkan, baik karena hubungan seperti hadiah, hibah, dan wasiat maupun karena menjadi suatu nafkah seperti ayah terhadap anaknya.

Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat adalah politik ekonomi negara Islam agar keseimbangan ekonomi rakyat bisa merata dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang saja. Allah Swt berfirman: "supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (TQS. al-Hasyr [59]: 7). Karena itu, khalifah harus menciptakan keseimbangan ekonomi tersebut dengan menyuplai rakyat yang fakir dengan harta yang diambil dari baitul mal (kas Negara). Sehingga, dengan suplai tersebut bisa diwujudkan keseimbangan ekonomi.

Bahwa fenomena bobroknya sirkulasi kekayaan di antara individu dengan jelas dan gamblang di berbagai negara merupakan sebuah fakta yang terjadi. Yang kesemuanya tadi ditunjukkan oleh kenyataan hidup sehari-hari, yang tidak perlu lagi banyak argumentasi. Begitu pula kesenjangan yang lebar, yang dialami oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tidak perlu lagi dijelaskan kerawanan dan absurditasnya.

Orang-orang Kapitalis telah berusaha memecahkan problem tersebut, tetapi tidak berhasil. Para ahli ekonomi Kapitalis ketika membahas teori tentang distribusi pendapatan, begitu mengabaikan buruknya distribusi pendapatan personal, bahkan mereka hanya memaparkan perhitungan-perhitungan tanpa memberikan solusi yang mendalam. Begitu pula dengan orang-orang Sosialis. Mereka tidak menemukan cara untuk memecahkan masalah buruknya distribusi itu, selain hanya membatasi hak milik dengan cara memberangus hak milik itu. Sehingga, orang-orang Sosialis akhirnya memberikan solusi dengan melarang hak milik itu.

Sementara Islam, justru telah menjamin distribusi tersebut dengan baik, yaitu dengan menentukan tata cara pemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dengan harta yang bisa menjamin hidupnya sebanding dengan sesamanya dalam komunitas masyarakat. Hal ini dalam rangka mewujudkan keseimbangan dalam memenuhi kebutuahn-kebutuhannya di antara sesamanya. Dengan demikian, Islam telah memecahkan masalah buruknya distribusi kekayaan tersebut.

Oleh karena itu, hanya negara Islamlah yang mampu mewujudkan sistem ekonomi syariah secara kaaffah. Karena itu, merupakan kesalahan yang fatal apabila sistem ekonomi syariah Islam dipisahkan dari negara Islam. Sebab, hal semacam itu tentu akan menyebabkan kesalahan dalam memahami masalah-masalah ekonomi yang ingin dipecahkan, bahkan akan menyebabkan buruknya pemahaman terhadap faktor-faktor produksi yang menghasilkan kekayaan dalam suatu negara. Ekonomi Islam hanya akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam negara Islam yang menerapkan Islam secara kaaffah. Sebab, sistem kehidupan Islam itu bersifat integral dan saling melengkapi. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

* Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Peradaban Islam

No Response to "Ekonomi Syariah dan Negara Islam"

Leave A Reply

My Blog List